Monday 8 July 2019

Dulu Pernah Jadi Pengguna Angkutan Umum

Dulu Pernah Jadi Pengguna Angkutan Umum

Banyak yang berubah dari Jogja seiring berjalannya waktu. Salah satu perubahan yang saya rasakan adalah suasana lalu lintasnya. Berbeda sekali dengan jaman saya sekolah dulu di mana masih banyak bus kota dan bus angkutan pedesaan yang beroperasi. Sekarang transportasi di Jogja didominasi oleh kendaraan pribadi dan angkutan online.

Bagi yang masih sekolah atau kuliah di akhir tahun 90an atau awal tahun 2000 pasti tidak asing dengan bus-bus kota atau bus kampus. Disebut bus kampus karena bus ini rutenya melewati kampus UGM. Biasanya para siswa naik bus ini karena belum cukup umur untuk mengendarai motor sendiri. Tapi ada juga sih yang sejak sekolah hingga kuliah naik angkutan umum. Seperti saya, yang sampai awal kerja masih naik bus sebelum akhirnya beli motor juga.

Ada banyak cerita dan kenangan saat naik bus kampus maupun angkutan lainnya. Salah satu jenis angkutan yang dulu sering saya pakai dulu adalah mobil Colt. Mobil angkutan ini bentuknya mirip-mirip dengan oplet nya si Dul Anak Sekolahan. Pintunya ada di sisi belakang, tempat duduknya berhadapan di sisi kiri dan kanan. Colt ini beroperasi dari pasar kecamatan ke wilayah perkotaan. Jadi penumpangnya bisa campur-campur antara para pelajar, mahasiswa, pedagang pasar dan yang lainnya.

sumber gambar : www.awansan.com
Uniknya Colt ini kadang-kadang beroperasi tanpa kernet. Jadi kalau mau turun penumpangnya harus mencari cara untuk memberitahu sopirnya. Biasanya sih dengan mengetuk pintu kaca belakang sopir. Diketuk-ketuk pakai uang logam yang mau dipakai untuk bayar, he.
Selama beberapa waktu Colt ini masih sempat berdampingan dengan bus kota hingga kemudian benar-benar menghilang.

Dan inilah cerita tentang bus kota di jaman saya sekolah.

Armada bus kota ini jumlahnya banyak dan beroperasi di jalur-jalur yang telah ditentukan. Ada belasan nomer jalur yang ada waktu itu. Saya sendiri paling sering naik jalur 15 dan jalur 4 yang melewati SMA saya, RS Sardjito, Malioboro dan Pasar Beringharjo. Kelihatan kan saya mainnya ke mana saja, he.
Nomer jalur dan rute bus ini ditempel di bagian depan bus. Jadi bisa terlihat dari jauh. Meski begitu untuk penumpang yang masih baru lebih mudah nanya sama kernetnya apakah tujuannya sesuai dengan rute busnya, supaya tidak nyasar.

Bus kota atau bus kampus ini ada yang dioperasikan oleh perusahaan milik negara dan ada yang dioperasikan oleh swasta. Banyak yang bilang bus yang dikelola oleh perusahaan milik negara ini terkesan lebih baik pelayanannya. Busnya lebih bersih, sopir dan kernetnya memakai seragam, jadi kita yakin kalau mereka memang karyawan resmi. Dan yang paling penting bus tetap berjalan sesuai rute meski sedang sepi penumpang. Bus ini banyak disukai oleh para penumpang.

Untuk urusan tarif bus-bus kampus ini pro pelajar. Tarif untuk pelajar lebih murah dari penumpang umum. Jadi kalau sudah pakai seragam pasti kita ditarif murah. Nah, yang agak bingung kalau hari libur tapi kita ada acara dan perginya naik bus. Mau bayar umum rasanya ogah. Mau bayar tarif pelajar eh kitanya tidak pakai seragam. Bisa-bisa dikomplain sama kernetnya, "Tanggal merah masuk juga tho Mbak?" Nah, ketahuan ...

Rute yang biasa saya lewati bersama bus jalur 15 terbilang cukup ramai. Pada jam-jam sibuk, seperti pulang sekolah bus-bus ini akan lebih ramai lagi. Sering tak kebagian tempat duduk dari naik sampai turun. Dalam suasana seperti ini biasanya kawanan copet beraksi.
Awalnya saya juga tak menyangka bahwa di jalur bus ini ada copet. Lebih khususnya di Jogja, saya pikir Jogja ku ini aman banget gitu. Setelah melihat sendiri aksi copet tersebut saya baru sadar bahwa copet itu ada juga di sini.

Tapi duduk dekat copet dan diajak ngomong sama copet itu deg-degannya nggak seberapa dibandingkan saat bus yang saya tumpangi 'menerjang' palang pintu KA. Ini adalah kejadian yang paling mencekam selama saya naik angkutan umum.
Saat itu bus yang saya tumpangi melewati perlintasan KA. Sinyal peringatan sudah berbunyi dan palang pintu KA sudah turun. Tapi dengan nekat kernet bus membuka palang pintu perlintasan dan bus pun menyeberang rel kereta tersebut. Saya yang tidak menyangka akan kejadian seperti itu cuma bisa panik ingin turun. Tapi tak bisa dan akhirnya cuma jengkel dan marah pada bus ini. Dan meski tidak terjadi apa-apa, saya jadi males naik bus jalur tersebut selama beberapa waktu.

Selain bus-bus yang beroperasi di wilayah kota, semasa kuliah saya masih sempat mendapati bus angkutan umum yang menjangkau ke pedesaan. Meski frekuensinya mulai jarang, tapi pada jam-jam tertentu saja seperti jam berangkat sekolah atau pulang sekolah bus ini masih lewat. Lama-lama bus ini berhenti beroperasi. Mungkin karena penumpangnya semakin sedikit. Padahal angkutan ini sangat bermanfaat untuk penghubung dari daerah kabupaten ke pusat kota.

Itu suka duka naik angkutan umum di Jogja beberapa waku lalu. Kini jaman sudah berganti. Belasan jalur bus yang dulu ada kini hanya tinggal beberapa saja. Perusahaan busnya bersatu dan mengelola Trans Jogja. Saya sendiri kalau kemana-mana masih naik motor. Karena memang punyanya motor, he... 

Pastinya dengan motor lebih cepat dan efisien. Ada banyak alternatif jalan bilamana terjadi kemacetan. Dan pengalaman-pengalaman naik bus umum diatas membuat saya enggan untuk naik angkutan umum lagi. Kalau bus nya seperti Trans Jogja mungkin saya masih mau. Tapi sayangnya belum ada angkutan seperti bus Trans yang sampai wilayah kampung saya.


Dulu Pernah Jadi Pengguna Angkutan Umum
sumber gambar : wikipedia bahasa Indonesia
Semoga ke depannya ada angkutan umum yang nyaman dan menjangkau sampai ke pedesaan. Saya yakin kalau memang ada transportasi yang memadai, masyarakat pasti mau digiring untuk memakai transportasi umum lagi. Digiring? Kayak kerbau aja ... ha ha.

2 comments:

  1. Dulu waktu sma saya sering naik kol kuning...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kol kuning ..sepertinya pernah naik juga, he.

      Delete

Terimakasih telah berkunjung ke Yoen NgeBlog. Saya akan berusaha membalas komentar secepatnya.πŸ“πŸŒ»πŸŒΈπŸŒ»