Wednesday 5 June 2019

Ketupat, Tradisi dan Ketentuan Ibadah Dalam Islam

Ketupat, Tradisi dan Ketentuan Ibadah Dalam Islam

Kalau ditanya apa yang identik dengan lebaran mungkin salah satunya adalah ketupat. Tak hanya di rumah-rumah yang membuat ketupat untuk sajian, di pusat-pusat perbelanjaan saat menjelang lebaran akan dihiasi dengan pernik-pernik bentuk ketupat.

Konon ketupat ini muncul pada masa Sunan Kalijaga yang mana pada saat itu budaya sangat berperan dalam dakwah Islam. Sehingga banyak tradisi dan budaya yang menyatu dengan ajaran-ajaran Islam. Dan banyak dari adat dan kebiasaan tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Salah satunya adalah ketupat luwar yang katanya merupakan simbol ngluwari ( keluar ) dari bulan Ramadan menuju Idul Fitri.

Baca juga : Macam-macam Bentuk Ketupat

Ketupat hanya salah satu contoh tradisi masyarakat Islam yang masih terus dilakukan hingga sekarang. Selain itu masih banyak adat dan tradisi dalam masyarakat yang seolah-olah menjadi keharusan dan dirasa tidak afdhol jika tidak dilakukan. Dalam hal inilah kita harus berhati-hati dan meneliti apakah suatu kebiasaan, tradisi yang terus dilakukan tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ibadah dalam Islam.

Ibadah merupakan amalan dengan ketentuan yang di atur dalam syariat, kita harus mencari dasar aturannya dulu sebelum mengamalkannya. Dengan kata lain ibadah tidak boleh kita lakukan kecuali ada dalil yang mendasarinya.

Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam al-Muwaqqi’in (I/344) :
“Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaim ana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan.Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya.

Seorang muslim hendaknya tidak terburu-buru meyakini dan mengamalkan suatu ajaran dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, baik yang berupa ucapan maupun amalan anggota badan. Sebaiknya dia meneliti apakah  amalan ibadahnya sesuai dengan yang dituntunkan Rasulullah shalaallahu ‘alaihi wa sallam. Bila mencocoki tuntunan Rasulullah maka diterima dan diamalkan, namun apabila bertentangan maka hendaknya ditolak, dari manapun datangnya.

Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.” ( QS : Al-Bayyinah : 5 )

Rasulullah  shalaallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” ( HR. Al-Bukhari dan Muslim )

Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat untuk diterimanya amal adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah shalaallahu ‘alaihi wa sallam . Kalau salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima.  Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ yang penting kan niatnya”, karena bukan hanya itu yang dia butuhkan untuk beramal.

Hendaknya kita berusaha untuk senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya dan tidak menyelisihinya. Karena Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan rasul-Nya dengan ancaman yang keras. Sebagaimana hal ini tersebut di dalam firman-Nya :
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” ( An-Nur: 50 )

Para ulama telah menjelaskan amalan yang diada-adakan dapat berupa amalan ibadah baru yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalaallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Ataupun dengan mengubah tata cara ibadah yang telah disyariatkan. Munculnya amalan/kebiasaan yang baru ini akan menjadikan hati pelakunya menjadi benci kepada As-Sunnah. karena, hati tidak akan menerima Sunnah Rasul jika sudah ditempati oleh bid’ah. Selain itu menyebabkan kaum muslimin menjadi terpecah-pecah,  juga akan menjadikan pelakunya membanggakan dirinya dan amalannya serta menganggap amalannya adalah yang paling baik.

Inilah yang mungkin belum banyak disadari oleh para muslimin. Masing-masing berbangga dengan amalan yang belum kuat dalilnya. Mereka enggan mengkaji dan mencari tahu apakah hal tersebut dituntunkan oleh Rasulullah shalaallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan predikat islam yang “kaku” sering diberikan kepada orang-orang yang tunduk pada sunnah, padahal sebenarnya mereka berjalan di atas prinsip agama yang benar.

*dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah berkunjung ke Yoen NgeBlog. Saya akan berusaha membalas komentar secepatnya.πŸ“πŸŒ»πŸŒΈπŸŒ»