Jakarta akhirnya punya gubernur baru. Setelah kampanye yang sangat panas dan menyita perhatian masyarakat seluruh Indonesia, gubernur baru terpilih telah dilantik beberapa hari yang lalu. Dan saya lihat, setelah dilantik pun, sudah mulai muncul kontroversi di media sosial mengenai isi pidato sang gubernur saat pelantikan.
Saya tidak akan ikut terlalu jauh dalam politik dan kampanye, karena memang bukan keahlian saya. Saya hanya ingin sedikit bercerita tentang kesan dan pesan saya sebagai orang luar Jakarta yang ikut menyimak jalannya pilkada DKI 2017.
Adalah warga Jakarta yang akan memilih Gubernur DKI. Dan merekalah yang lebih tahu mengenai kodisi Jakarta saat ini. Mereka juga lebih dekat mengenal dan mungkin pernah bertemu dengan para calon Gubernur yang akan mereka pilih dibanding kita-kita yang bukan warga Jakarta.
Namun pemberitaan TV nasional dan media sosial membuat pilkada DKI ini menyita perhatian masyarakat. Saya yang di luar Jakarta menjadi ikut terbawa dan berkubu. Meskipun berita dari medsos tersebut sulit dikonfirmasi kebenarannya, tetapi tetap saja banyak yang melalapnya mentah-mentah. Saya pun tak terkecuali, pernah juga terpancing mengomentari berita yang belakangan diketahui tidak dikonfirmasi oleh sumbernya.
Walaupun tak punya hak pilih, saya juga memiliki kesan terhadap para kandidat gubernur DKI waktu itu. Kesan ini muncul berdasarkan pemberitaan yang gencar tentang keseharian calon-calon tersebut. Inilah kesan saya terhadap mereka. Saya urutkan dari yang tertua hingga termuda.
BTP adalah gubernur petahana yang dikenal sangat berani mengambil tindakan dan terobosan. Berita tentang prestasi dan kontroversinya sama kuatnya di media sosial. Cara berkomunikasinya menimbulkan banyak kritikan. Bahkan terjadi demo besar-besaran yang berawal dari 'ucapan' yang ditafsirkan sebagai suatu penistaan. Hal ini menyebabkan urusan 'politik' dan 'hukum' menyatu dalam suasana panasnya pilkada DKI.
Masyarakat memang sangat beragam dalam merespon pidato BTP. Saya termasuk yang menyesalkan kenapa harus terjadi kegaduhan dalam hal yang sangat sensitif. Tapi mungkin saya adalah orang yang memilih 'damai' daripada 'ribut' maka hanya menganggap frasa pidato tersebut sebagai sesuatu yang tidak pantas saja dan setelah itu habis perkara.
AB bukanlah sosok asing bagi saya. Profilnya dulu pernah muncul di majalah sekolah saya. Yak, karena beliau adalah alumni dari SMA saya. Sosoknya santun dan kharismatik. Ketika mengetahui beliau menjadi rektor termuda tentunya ikut bangga sebagai satu almamater. Apalagi saat beliau jadi menteri. Kalau ternyata sekarang beliau terpilih menjadi Gubernur Jakarta saya tentu ikut mendoakan semoga beliau mampu menjalankan amanah dengan baik.
AHY adalah calon termuda gubernur DKI. Sosoknya yang muncul pada waktu-waktu terakhir sangat menarik perhatian banyak orang. Membawa gaya baru dalam berkampanye dari gaya lama ke gaya anak muda kekinian. Saya sangat salut dengan keputusannya keluar dari zona nyaman.
Menurut pengamatan saya AHY lebih banyak diserang karena masih sangat baru di dunia politik. Terlebih dia adalah putra mantan presiden yang pastinya punya banyak musuh politik. Tapi itulah demokrasi, semua bisa digunakan untuk berpendapat dan menyerang. Dan fakta bahwa akhirnya dia kalah itu adalah konsekuensi dari sebuah pilihan. Dan nampaknya semua sudah diantisipasi. Ini terlihat dari pidato kekalahan yang sangat elegan dan menunjukkan sikap ksatria. Hingga pelantikan kemarin beliau menunjukkan sikap yang sangat gentle. Sebuah contoh perilaku yang nyatanya tak semua orang bisa melakukannya.
Sekali lagi selamat kepada warga DKI. Semoga warganya bisa menerima hasil pilihan ini dengan dewasa dan kemudian bersama-sama membangun Jakarta.
Dari pengamatan saya, tak ada pendukung pasangan calon yang benar-benar bersih dari kampanye negatif. Minimal saya lihat di timeline saya banyak teman-teman yang berbeda dukungan men-share berita-berita yang sulit dikonfirmasi kebenarannya. Akhirnya muncul saling komentar dengan bahasa yang tidak sopan, nyinyir, bahkan menghina. Dan ini dilakukan untuk mendukung jagoannya masing-masing. Padahal mereka itu bukan warga Jakarta, lho, he.
Kampanye di medsos juga sangat marak dengan meme dan berita hoax. Kadang-kadang dilihat judulnya dan alamat situsnya saja sudah kelihatan kalau berita tersebut tidak meyakinkan. Dan pendukung di lapisan bawah begitu mudahnya menshare berita-berita seperti ini.
Ada lagi yang unik dari berita kampanye. Hal-hal yang nampak biasa dalam kehidupan sehari-hari, jika itu menyangkut paslon bisa menjadi sangat penting dan menjadi headline berita. Tapi memang, hal yang tampak sepele ini justru malah bisa menarik calon pemilih. Tentunya bagi pemilih yang nggak berat-berat mikirnya. Dan memang tidak semua orang mengerti politik bukan?
Saya pribadi selalu berharap, siapapun pemimpinnya agar bangsa ini rukun, aman dan tidak ada kerusuhan. Dengan kondisi damai, masyarakat dapat hidup tenang dan beraktivitas dengan rasa aman.
Saya tidak akan ikut terlalu jauh dalam politik dan kampanye, karena memang bukan keahlian saya. Saya hanya ingin sedikit bercerita tentang kesan dan pesan saya sebagai orang luar Jakarta yang ikut menyimak jalannya pilkada DKI 2017.
Adalah warga Jakarta yang akan memilih Gubernur DKI. Dan merekalah yang lebih tahu mengenai kodisi Jakarta saat ini. Mereka juga lebih dekat mengenal dan mungkin pernah bertemu dengan para calon Gubernur yang akan mereka pilih dibanding kita-kita yang bukan warga Jakarta.
Namun pemberitaan TV nasional dan media sosial membuat pilkada DKI ini menyita perhatian masyarakat. Saya yang di luar Jakarta menjadi ikut terbawa dan berkubu. Meskipun berita dari medsos tersebut sulit dikonfirmasi kebenarannya, tetapi tetap saja banyak yang melalapnya mentah-mentah. Saya pun tak terkecuali, pernah juga terpancing mengomentari berita yang belakangan diketahui tidak dikonfirmasi oleh sumbernya.
Walaupun tak punya hak pilih, saya juga memiliki kesan terhadap para kandidat gubernur DKI waktu itu. Kesan ini muncul berdasarkan pemberitaan yang gencar tentang keseharian calon-calon tersebut. Inilah kesan saya terhadap mereka. Saya urutkan dari yang tertua hingga termuda.
BTP adalah gubernur petahana yang dikenal sangat berani mengambil tindakan dan terobosan. Berita tentang prestasi dan kontroversinya sama kuatnya di media sosial. Cara berkomunikasinya menimbulkan banyak kritikan. Bahkan terjadi demo besar-besaran yang berawal dari 'ucapan' yang ditafsirkan sebagai suatu penistaan. Hal ini menyebabkan urusan 'politik' dan 'hukum' menyatu dalam suasana panasnya pilkada DKI.
Masyarakat memang sangat beragam dalam merespon pidato BTP. Saya termasuk yang menyesalkan kenapa harus terjadi kegaduhan dalam hal yang sangat sensitif. Tapi mungkin saya adalah orang yang memilih 'damai' daripada 'ribut' maka hanya menganggap frasa pidato tersebut sebagai sesuatu yang tidak pantas saja dan setelah itu habis perkara.
AB bukanlah sosok asing bagi saya. Profilnya dulu pernah muncul di majalah sekolah saya. Yak, karena beliau adalah alumni dari SMA saya. Sosoknya santun dan kharismatik. Ketika mengetahui beliau menjadi rektor termuda tentunya ikut bangga sebagai satu almamater. Apalagi saat beliau jadi menteri. Kalau ternyata sekarang beliau terpilih menjadi Gubernur Jakarta saya tentu ikut mendoakan semoga beliau mampu menjalankan amanah dengan baik.
AHY adalah calon termuda gubernur DKI. Sosoknya yang muncul pada waktu-waktu terakhir sangat menarik perhatian banyak orang. Membawa gaya baru dalam berkampanye dari gaya lama ke gaya anak muda kekinian. Saya sangat salut dengan keputusannya keluar dari zona nyaman.
Menurut pengamatan saya AHY lebih banyak diserang karena masih sangat baru di dunia politik. Terlebih dia adalah putra mantan presiden yang pastinya punya banyak musuh politik. Tapi itulah demokrasi, semua bisa digunakan untuk berpendapat dan menyerang. Dan fakta bahwa akhirnya dia kalah itu adalah konsekuensi dari sebuah pilihan. Dan nampaknya semua sudah diantisipasi. Ini terlihat dari pidato kekalahan yang sangat elegan dan menunjukkan sikap ksatria. Hingga pelantikan kemarin beliau menunjukkan sikap yang sangat gentle. Sebuah contoh perilaku yang nyatanya tak semua orang bisa melakukannya.
Sekali lagi selamat kepada warga DKI. Semoga warganya bisa menerima hasil pilihan ini dengan dewasa dan kemudian bersama-sama membangun Jakarta.
Media Sosial dan Kampanye
Setelah Pilpres 2014, ini adalah kali kedua saya mengikuti hiruk pikuk kampanye melalui media sosial. Pada pemilu dan pilkada sebelumnya saya belum mempunyai smartphone sehingga tidak bisa terlalu intens mengikuti berita-berita di media sosial. Ternyata kampanye di medsos lebih ngeri ya, he.Dari pengamatan saya, tak ada pendukung pasangan calon yang benar-benar bersih dari kampanye negatif. Minimal saya lihat di timeline saya banyak teman-teman yang berbeda dukungan men-share berita-berita yang sulit dikonfirmasi kebenarannya. Akhirnya muncul saling komentar dengan bahasa yang tidak sopan, nyinyir, bahkan menghina. Dan ini dilakukan untuk mendukung jagoannya masing-masing. Padahal mereka itu bukan warga Jakarta, lho, he.
Kampanye di medsos juga sangat marak dengan meme dan berita hoax. Kadang-kadang dilihat judulnya dan alamat situsnya saja sudah kelihatan kalau berita tersebut tidak meyakinkan. Dan pendukung di lapisan bawah begitu mudahnya menshare berita-berita seperti ini.
Ada lagi yang unik dari berita kampanye. Hal-hal yang nampak biasa dalam kehidupan sehari-hari, jika itu menyangkut paslon bisa menjadi sangat penting dan menjadi headline berita. Tapi memang, hal yang tampak sepele ini justru malah bisa menarik calon pemilih. Tentunya bagi pemilih yang nggak berat-berat mikirnya. Dan memang tidak semua orang mengerti politik bukan?
Saya pribadi selalu berharap, siapapun pemimpinnya agar bangsa ini rukun, aman dan tidak ada kerusuhan. Dengan kondisi damai, masyarakat dapat hidup tenang dan beraktivitas dengan rasa aman.